Istilah puasa dalam Al-Quran diungkapkan melalui dua lafaz, yakni “shaum dan shiyam. Namun dari kedua istilah tersebut, shiyam digunakan saat memberi perintah berpuasa Ramadan. Lalu, bagaimana perbedaan antara kedua istilah tersebut dalam Al-Quran?
Al-Quran bersifat komprehensif, sangat detail dalam menghadirkan kata-kata dan ibarat-ibarat yang tersusun di dalamnya. Perbedaan bentuk kata meskipun berasal dari rumpun yang sama, dapat mengandung makna yang juga berbeda. Sepintas memiliki makna yang sama, namun ternyata tersirat makna yang beragam di dalamnya, termasuk di antaranya adalah tentang perintah puasa.
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa (shiyam) sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (QS. Al Baqarah: 183)
Namun, dalam Al-Quran istilah puasa tidak hanya diungkapkan melalui lafaz shiyam” saja, tetapi juga “shaum” yang kedua lafaz tersebut sama-sama menunjukkan makna puasa dalam arti menahan (al-imsak).
Abu Hilal Al-Askari dalam Al-Furuq Al-Lughawiyah menyataka,n bahwa setiap ibarat atau bentuk kata yang berbeda, pasti memiliki makna yang juga berbeda. Lalu, bagaimana perbedaan antara kedua lafaz tersebut dalam Al-Quran?
Kepala Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Quran, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, Dr Muchlis M Hanafi menjelaskan,perintah berpuasa dalam Ramadan memang menggunakan kata shiyam bukannya menggunakan kata shaum.
Muchlis menyebut, hal itu bukan suatu masalah. Secara bahasa, dua kata ini memiliki arti yang sama, yaitu puasa. Namun, secara ilmu tafsir ada faedah yang berbeda.
“Kalau dari perspektif ilmu tafsir, ada satu faedah yang diikuti. Jadi, kalau ada satu kata yang artinya sama dengan kata lain, tapi bangunannya lebih banyak dari yang satunya, maka muatan maknanya pun lebih banyak,” ucapnya melansir Republika.
Lafaz shaum yang menggunakan tiga huruf ini disebutkan satu kali, yaitu dalam surah Maryam ayat 26. Fa kuli wa syrabi wa qarri aina, fa imma tarayinna min al-basyari ahadan fa quuli inni nadzartu li al-rahmani shauma, fa lan ukallima al-yauma insiyya Dalam ayat tersebut, para mufassir mengartikan shaum dengan al-shamt yang bermakna diam; tidak berkata dan menahan diri dari berkata. Hal tersebut dipertegas dengan kalimat setelahnya, fa lan ukallima al-yauma insiyya, Aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun hari ini.
Sedangkan lafaz shiyam memakai empat huruf dalam Al-Quran disebutkan sembilan kali yang terdapat di dalam tujuh ayat. Yaitu dalam surah Al-Baqarah ayat 183, 187 dan 196, surah Al-Nisa ayat 92, surah Al-Maidah 89 dan 95, dan surah Al-Mujadalah ayat 4. Seluruh kata Shiyam dalam ketujuh ayat tersebut bermakna puasa lebih spisifik secara fikih, yaitu menahan dari segala sesuatu yang dapat membatalkan puasa, dari terbitnya fajar pada waktu Subuh yang disertai niat hingga terbenamnya matahari pada waktu Maghrib.
Menurut Ustadz Yuliandi, Penyuluh Agama Islam Kemenag Kota Pangkalpinang, melansir laman resmi Kemenag, shaum dikatakan lebih umum, yaitu menahan diri dari segala perbuatan atau perkataan, baik karena berpuasa -sebagaimana dalam konteks fikih- atau tidak. Tidak hanya dalam hal-hal yang membatalkan puasa secara fikih saja, namun juga menahan dari berbagai perbuatan dan ucapan lainnya yang tidak ada kaitannya dengan syariat puasa, sekalipun itu tidak termasuk ibadah.
Keduanya sama-sama terbentuk dari lafaz Shaama-Yashuumu yang bermakna menahan dari sesuatu, baik perkataan atau perbuatan. Dalam tataran Ilmu Shorf, keduanya merupakan bentuk Masdar. namun, untuk lafaz shiyam mengikuti wazan Fial yang menurut sebagian ulama mengandung makna Mufaalah, Musyarakah, Muqawamah dan Mujahadah dan makna-makna lain yang terkandung dalam wazan Mufaalah. Makna Mufaalah yang terkandung dalam wazan Fial terdapat aspek adanya sebuah upaya atau usaha dalam beribadah secara syariat, yang mana kandungan makna ini tidak terdapat dalam lafaz Shaum.
“Kesimpulannya, perbedaan shaum dengan shiyam adalah perihal umum dan khusus. Shaum lebih umum daripada shiyam. Jika shiyam hanya digunakan untuk arti berpuasa secara fikih yaitu menahan diri dari makan-minum-seks, shaum digunakan untuk semua yang dimaksud dalam arti menahan diri. Puasa Ramadan atau puasa Senin-Kamis bisa disebut shiyam, juga bisa disebut shaum, paparnya.
Dari sini kita tahu berpuasa tak hanya secara fikih, tak hanya menahan diri dari makan, minum, seks, dan hal-hal lain yang membatalkan puasa secara fikih, tapi juga berpuasa dari segala hal dan sifat buruk. Menahan diri dari makan-minum-seks hanyalah bagian kecil dari shaum yang kita niatkan dalam setiap berpuasa.
Dari sini kita juga tahu hikmah lain: kenapa yang diwajibkan oleh Allah adalah shiyam, bukan shaum (ya ayyuhalladzina amanu kutiba alaikum al-shiyam), yaitu karena shaum lebih berat daripada shiyam. Jika shiyam diwajibkan hanya pada siang hari Ramadan, shaum diwajibkan pada setiap saat di sepanjang hayat.
“Proses ataupun ketentuan dalam perintah puasa disebut dalam Al-Quran dengan kata Shiyam sebanyak 9 kali dalam 7 ayat sedangkan Shaum hanya 1 kali ini bermakna bahwa Shaum adalah capaian (nilai) dari Shiyam, tutup Ustadz Yuliandi.