Perjuangan Ustadz Dedi Sigit Prasetyo untuk berdakwah di pelosok desa dan pegunungan di Blitar selatan patut diapresiasi.
Dengan menaiki motor, pria berusia 35 tahun kelahiran Blitar ini naik turun pegunungan sejauh 27 kilometer untuk mengajarkan ilmu Agama Islam kepada masyarakat hingga malam hari.
“Sebenarnya sejak tahun 2010, saya sudah berdakwah di Blitar kawasan utara. Baru fokus di Blitar selatan yaitu kawasan pegunungan di daerah Panggungrejo dan Desa Ngeni sejak Tahun 2017,” kata alumni Pondok Pesantren (Ponpes) Nurul Ulum ini kepada redaksi, Senin (1/8/2022).
Ia menyebutkan, awalnya dirinya hanya mengajar dasar-dasar huruf Arab kepada masyarakat.
“Perjalanan dari kota ke tempat saya mengajar di Nurul Ulum kalau pulang ke rumah, biasanya saya mampir ke daerah terpencil untuk sholat jemaah. Mampir kemudian kenalan dengan masyarakat di sana. Setelah akrab dan tahu apa yang dibutuhkan, saya kemudian mengajar kepada mereka,” ujarnya.
Ustadz Dedi kemudian hanya mengajar di Blitar selatan setelah guru ngaji privatnya yang berada di Kediri menyuruhnya untuk fokus meski hanya dihadiri oleh tiga sampai lima orang saja.
“Guru ngaji privat saya di Kediri menugaskan setelah saya dakwah kecil-kecilan atau door to door untuk melanjutkan mengajar di Blitar selatan. Setiap majelis di Blitar selatan meski ada satu orang, tiga orang ya saya ajarin itu. Sedangkan untuk kegiatan dakwah di daerah utara saya kurangi. Tinggal rutinan majelis dzikir saja. Majelis dzikir Ratibul Haddad,” sebutnya.
“Saya fokus menjemput bola saja. Orang yang tidak mau sholat, bukan berarti karena beliau tidak mau. Tetapi karena beliau punya perasaan malu, perasaan minder. Buktinya saat saya dekati, mereka punya keinginan besar untuk sholat. Tapi melihat usia, mereka mau belajar tapi malu. Kalau tidak belajar, padahal hatinya ingin belajar sholat,” paparnya.
Ustadz Dedi mengaku jika kini dirinya mengajar di tujuh tempat di kawasan Blitar selatan.
Di lokasi yang berada di lereng pegunungan itu dirinya berdakwah meski saat perjalanan ke lokasi tidak ada penerangan karena listrik belum masuk setiap hari Kamis, Jumat, Sabtu dan Ahad atau Minggu. Di luar hari itu, dirinya fokuskan ke silaturahim dan mengaji sendiri.
“Lereng pegunungan tidak ada listrik sama sekali. Ada 7 tempat saya mengajar di kawasan Blitar selatan.
Yang berkesan saat pulang malam bisa sampai pukul 01.00 WIB sendirian. Pernah ketemu begal. Tapi sebelumnya sudah diingatkan guru saya untuk sholawat,” ceritanya.
Saat itu ada 17 orang lebih berdiri di tengah jalan dan membawa semacam kayu.
“Tapi Alhamdulillah, saya tidak kenapa-kenapa. Saya salami mereka, dan permisi kemudian dipersilahkan. Pernah juga kehabisan oli hingga motor mogok. Ditarik sama motor oleh masyarakat sekitar 12 kilometer hingga sampai rumah. Jadi kalau benar benar terjun ke pelosok, masyarakat itu welcome,” lanjutnya.
Menurutnya, sebenarnya belajar tulis Alquran itu nomor dua. Yang pertama adalah belajar wudhu dan sholat.
“Yang penting orang bisa wudhu dan bisa sholat. Kalau tertarik bisa lanjut belajar baca tulis Alquran,” tegasnya.
Untuk dana operasional dakwah, dirinya memakai uang pribadi. Yaitu dari pendapatannya mengajar di Ponpes Nurul Ulum. Sedangkan istrinya juga mengajar ngaji di rumah.
“Pagi saya ngajar di pesantren Nurul Ulum dari pukul 07.00 – 15.00 mengajar Bahasa Inggris,” ujar Ustadz Dedi yang memiliki satu putra berusia 8 tahun ini.