Zakat fitrah adalah zakat diri dalam rangka membersihkan diri kita. Orang kaya atau miskin (selagi masih punya kelebihan harta dari kebutuhan hidup sehari pada tanggal 1 syawwal) semua terkena kewajiban zakat fitrah.
Dalam buku “Islam itu Mudah” Fiqih Kontemporer Edisi 2 karya Prof Dr H Ahmad Zahro MA yang dirilis 2014, dijelaskan bahwa berdasarkan hadits – hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dapat dipahami bahwa kadar zakat fitrah itu 1 sha’ yang oleh para ulama dihitung sesuai persepsi masing-masing (tentang sha’). Madzhab Hanafiy menetapkan 3800 gram (3,8 kg), sedangkan jumhur fuqaha’ (mayoritas
ulama fiqih) menyepakati 2751 gram (2,75 kg) sebagai kadar minimal zakat fitrah.
Entah mengapa di masyarakat muncul standard zakat fitrah 2,5 kg tersebut. Lebih baik mengambil jalan tengah antara madzhab Hanafiy dan Jumhur, agar lebih mudah menghitung dan juga lebih hati-hati, bahwa kadar zakat fitrah untuk 1 orang adalah 3 kg beras bagi siapapun (dewasa/anak-anak, tua/mudah, laki-laki/perempuan).
Sedang zakat profesi (pekerjaan) adalah zakat terkait dengan pembersihan harta manakala sudah
mencapai jumlah tertentu. Secara prinsip mayoritas ulama menyepakati kewajiban zakatnya,
walaupun teknis pelaksanaannya masih menjadi wacana fiqih yang diperselisihkan.
Penghasilan yang halal dari profesi apapun bila sudah mencapai 1 nisbah (batas minimal harta
kena zakat, yaitu kira-kira seharga 90 gram emas), maka wajib dizakati. Dan penghasilan itu
tidak perlu lebih dulu dipotong keperluan sehari-hari, dan juga tidak harus menunggu 1 tahun,
melainkan begitu sudah mencapai 1 nisbah, maka harus dikeluarkan zakatnya, minimal sebesar
2,5%. Mengenai hal ini ada dua tawaran:
a. Setiap menerima penghasilan dicatat, dan begitu mencapai Rp 45.000.000,- (dengan
perkiraan harga 1 gram emas Rp 500.000,-) maka harus dikeluarkan zakatnya 2,5%.
b. Atau setiap menerima penghasilan dicatat, kemudian pada akhir bulan dijumlah. Kalau
ada Rp 3.750.000,- (45 juta dibagi 12 bulan) maka wajib dizakati 2,5%. Inilah yang
disebut ta’jil az-zakah ( penecpatan zakat).
Mengenai pengiriman zakat (naqluz zakaah) dari tempat/daerah orang yang berzakat ke
tempat/daerah lain, ada hadis sahih yang di riwayatkan oleh al-jama’ah (banyak periwayat)
bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang maknanya:
“…Allah SWT mewajibkan zakat yang diambil dari orang-orang kaya mereka untuk diberikan
pada orang-orang miskin mereka…”. Kata “mereka” dalam hadis tersebut difahami sebagai
keharusan memberikan zakat kepada orang miskin yang ada di sekitar orang yang berzkat.
Namun para ulama memberikan perkecualian, secara garis besar sebagai berikut: Ulama
Hanafiyah (pengikut madzhab Hanafiy) mengecualikan, yakni boleh mengirimi zakat ke lain
daerah, kepada kerabat yang miskin, masyarakat yang lebih miskin, dari daerah non muslim ke
daerah muslim, orang yang sedang menuntut ilmu.
Sedang ulama Malikiyah (pengikut madzhab malikiy) mengecualikan mereka yang lebih
membutuhkan, yakni boleh mengirim zakat ke lain daerah untuk mereka. Sementara itu ulama
Syafi’iyah (pengikut madzhab syafi’iyah) mengecualiakan, boleh mengirim zakat ke lain daerah
kalau di daerah orang yang berzakat tidak ada yang berhak menerima zakat, atau ada kelebihan
zakat.
Wallaahu a’lam.